BANYUWANGI –Kerapan Sapi Brujul Kota Probolinggo telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) domain pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2019. Untuk memperkuat pengakuan tersebut, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyerahkan sertifikat warisan budaya tak benda kepada Wakil Wali Kota Probolinggo Mochammad Soufis Subri, Sabtu (14/11) malam.
Penyerahan sertifikat yang didampingi Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elistianto Dardak itu berlangsung dalam event East Java Fashion Harmony, Fashion on The Beach, di Pantai Solong, Banyuwangi. Selain Kota Probolinggo, 15 kota/kabupaten di Jawa Timur pun mendapatkan sertifikat WBTB dari berbagai domain.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur, Sinarto menjelaskan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan sekitar 20 WBTB. WBTB merupakan sebuah pengakuan pemerintah terhadap produk budaya tradisi yang ada di daerah.
“Perlu diakuinya budaya tradisi oleh pemerintah supaya nilai-nilai budaya yang telah terbentuk tetap lestari serta mempermudah langkah untuk memajukan kebudayaan. Warisan budaya tersebut berjalan di tengah-tengah masyarakat dan terus dilakukan oleh warga. Itu salah satu alasan pemerintah pusat mengakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda,” ungkap Sinarto.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Probolinggo M Maskur, yang ikut mendampingi Wawali Subri dalam event tersebut mengatakan, proses penetapan WBTB didahului dengan pemenuhan administrasi ke Provinsi Jawa Timur pada awal Januari 2019. Selanjutnya, harus ada revisi kelengkapan administrasi.
Proses sidang penetapan berlangsung di Jakarta pada 7 Oktober 2019 dihadapan 17 ahli budaya. Sidang penetapan diikuti juga beberapa kota/kabupaten se-Indonesia. “Kerapan sapi brujul ini satu-satunya hanya dimiliki oleh Kota Probolinggo, tidak ada di daerah lain. Meskipun sama-sama kerapan tetapi beda kriteria dan tradisinya,” jelas Maskur.
Sementara itu, saat ditanya usai menerima lembar WBTB dari Gubernur Khofifah, Wawali Subri mengungkapkan upaya Pemerintah Kota Probolinggo dalam melestarikan dan mensupport Kerapan Sapi Brujul agar terus eksis dan mendapat tempat seiring dengan penetapan tersebut.
Sebetulnya Pemkot Probolinggo sudah menyiapkan beberapa langkah untuk lebih melestarikan dan menggairahkan keberadaan Kerapan Sapi Brujul. Mulai dari kajian, penyiapan pembangunan infrastruktur (sarana prasarana) menggandeng UMKM sampai pembinaan kepada pelaku kegiatan tersebut.
“Rencana awal akan ada pematangan lahan, panggung tempat duduk, listrik sampai perbaikan dan pelebaran jalan akses masuk ke lapangan kerapan. Tapi karena pandemi COVID 19 saat ini maka untuk sementara terpending dulu akibat adanya refocusing anggaran,” terang wawali.
Subri menambahkan, tertunda bukan berarti tidak akan terlaksana, karena rencana-rencana tersebut akan tetap direalisasikan. “Kedepan kami akan lebih perhatikan seiring pulihnya ekonomi kembali sehingga kegiatan tersebut bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah selatan Kota Probolinggo,” tegasnya. (famydecta)
Deskripsi Kerapan Sapi Brujul Kota Probolinggo
Dikutip dari laman kemdikbud.go.id Kerapan Sapi Brujul di Kota Probolinggo adalah sebuah tradisi semacam kerapan sapi di Madura, tapi tidak digelar di lapangan kering tapi di sawah yang penuh lumpur berair. Tradisi ini berawal dari kebiasaan petani yang selalu membajak sawahnya terlebih dahulu menggunakan sapi sebelum menanam padi. Sawah–sawah dibanjiri dengan air hingga penuh, lalu dibajak. Untuk mengusir kejenuhan, para petani ini kemudian berlomba di areal sawah yang berlumpur tersebut.
Lambat laun kebiasaan tersebut menjadi hobi baru bagi para petani. Dari situ kemudian oleh sekelompok petani dikembangkan menjadi sebuah perlombaan Kerapan Sapi Brujul antar petani setiap musim tanam padi tiba. Pada mulanya tidak ada hadiah untuk pemenang atau juaranya karena murni hanya untuk bersenang-senang serta ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta yang dirayakan bersama-sama. Hanya saja ada ketentuan bahwa si Joki harus mengenakan udheng (ikat kepala) khas Probolinggo.
Tradisi ini sudah dilakukan turun temurun yang diselenggarakan oleh masyarakat demi keberlanjutan ekosistem budaya di tempat ini. Berdasarkan narasumber yang diwawancarai Kerapan Sapi Brujul di Kota Probolinggo sudah ada dari tahun 1950-an.
Jenis sapi yang digunakan adalah sapi dengan ras sapi brujul, sebagaimana yang digunakan untuk membajak sawah oleh para petani ketika memasuki masa tanam. Kerapan ini berbeda dengan ras sapi merah di Pulau Madura, karena menggunakan sapi bajak padi.
Penggunaan teknik pelatihan sapi di masa lalu yaitu dengan melakukan pendekatan secara emosional antara joki dan sapi. Mereka makan bersama, mandi malam bersama, menghabiskan waktu bersama merupakan trik terampuh untuk menjalin kedekatan batin dengan sapi hingga sapi mudah untuk dikendalikan.
Sapi yang diikutkan ajang tersebut memiliki kriteria kesehatan tertentu, syarat yang utama adalah minimal sapi berusia 2 tahun dan sehat berdasarkan kriteria dokter hewan. Joki melatih sapinya dengan rutin dan berdasarkan akidah norma kemanusiaan. Selain pelatihan yang diikuti, sapi diberi jamuan untuk meningkatkan stamina. Jamuan tersebut berisi rempah-rempah seperti kunci, bawang putih, jahe, telur ayam kampung, seperempat botol madu asli, setengah botol anggur keleson, larutan ini diberikan pagi dan malam.
Seiring dengan berjalannya waktu dan makin banyaknya masyarakat yang antusias sehingga terbentuklah paguyuban-paguyuban Kerapan Sapi Brujul. Diantaranya, Paguyuban Karapan Minak Jinggo, diprakarsai oleh Bapak Hairul Mustafa bersama para tokoh pecinta karapan. Pemenang lomba lantas mendapatkan hadiah. Tempat perlombaan pun berpindah-pindah dari sawah satu ke sawah yang lain.
Tradisi ini terus berkembang, terkait dengan busana kebesaran joki dan sapi serta pelatihan yang dilakukan melatih sapi agar memiliki satu tujuan dan prinsip dengan joki. Tradisi ini kemudian meluas hingga ke desa Triwung, Sumber Wetan, Kedopok dan Wonoasih, Pilang serta Ketapang.
Namun sayangnya belakangan penggunaan pakaian kebesaran berdasarkan hari pasaran Jawa Paing, Legi, Wage, Pon, Kliwon tidak digunakan lagi. Di masa kini masyarakat bebas memilih desain dan warna pakaian kebesaran untuk sapi dan joki yang akan beradu.
Di masa kini Joki melatih sapinya dengan menggunakan teknik pengenalan karakter pada sapi. Teknik ini digunakan dengan melihat titik tertentu dari sapi, dari pengamatan ini fungsinya joki lebih mengenal karakter sapi. Bagian tubuh sapi ada titik tertentu yang harus diketahui oleh Joki agar sapi dapat beradu dalam kekuatan dan tenaga yang maksimal tanpa mengurangi dan merusak harmoni ikatan batin antara Joki dan sapi. Tidak banyak juga dari pemilik sapi bahwa mereka menggunakan perpaduan antara teknik pendekatan emosional seperti di masa lalu dan gabungan teknik pengenalan karakter melalui titik-titik yang ada pada tubuh sapi pada masa kini.