Probolinggo,13/4/2015. Lembaga Bantuan Hukum bagi masyarakat kurang mampu memang telah ada sejak berlakunya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum dan Peraturan Daerah Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bantuan Hukum Bagi Masyarakat, namun sampai saat ini, keadaannya mati suri.
Hal ini sesuai penuturan Putu Agus Wiranata, SH, Hakim Pengadilan Negeri Kota Probolinggo, saat melakukan dialog interaktif di Radio Suara Kota Probolinggo beberapa waktu lalu. Putu mengakui jika dalam praktek yang terjadi selama ini, uluran tangan untuk membantu masyarakat miskin mengakses keadilan masih sangat tidak memadai.
“aktivitas bantuan hukum yang dilakukan oleh penggiat bantuan hukum dari lembaga bantuan hukum kampus, ormas, partai politik, lembaga swadaya masyarakat “mati suri”, hal ini karena terbentur masalah administrasi dan legalisasi praktek bantuan hukum”, terang Putu.
Putu menambahkan, keadaan ini diperparah dengan masih sedikitnya Kabupaten/Kota yang membuat peraturan daerah untuk pendampingan hukum bagi warga miskin. “dari 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur, hanya 3 Kabupaten/Kota yang telah membuat peraturan daerah tentang ini. diantaranya, Probolinggo, Jember dan Banyuwangi”, ujar Putu
Prosedur untuk mendapatkan bantuan hukum ini sebenarnya mudah, pemohon hanya perlu mengajukan permohonan bantuan hukum secara tertulis yang berisi identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok permasalahan yang dimintakan bantuan hukum.
“identitas dapat dibuktikan dengan KTP, jika tidak punya KTP, pemohon dapat dibantu oleh pemberi bantuan hukum untuk memperoleh surat keterangan alamat sementara atau dokumen lain. Selain itu juga diperlukan surat keterangan miskin, jika tidak punya, bisa menggunakan kartu jaminan kesehatan masyarakat, BLT, kartu beras miskin atau dokumen lainnya”, lanjut Putu.
Namun demikian, Putu menyayangkan, dengan keluarnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sebagai Undang-undang yang mengatur profesi advokat, justru semakin menghanguskan aktivitas pemberian hukum untuk golongan masyarakat tidak mampu. “undang-undang tersebut tidak memberikan perluasan akses yang seluas-luasnya bagi pemberian bantuan hukum cuma-cuma bagi kelompok masyarakat miskin”, tutup Putu. (SD)